Senin, 28 Maret 2011

Tinjauan Kritis Strukturalisme terhadap Kebijakan Ekonomi Indonesia

Pendahuluan
Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, dengan kegiatan ekonomi yang berada di bawah cengkeraman korporasi internasional milik Belanda ketika itu, VOC. Setelah merdeka tahun 1945, Indonesia dengan pemerintahan oleh pribumi-nya berusaha memiliki perekonomian yang mandiri.


Sayangnya Orde Lama, di bawah kepemimpinan Soekarno, belum cukup memiliki kekuatan ekonomi yang memadai untuk menghadapi 'gempuran' internasional dan tuntutan kelayakan hidup dari rakyatnya sendiri. Padahal Indonesia di bawah pimpinan Soekarno mulai digadang-gadang sebagai pemimpin Negara-negara Dunia Ketiga dengan Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok dalam konteks Perang Dingin. Dan Soekarno pun seringkali mewanti-wanti bangsanya sendiri dan Negara-negara Dunia Ketiga lainnya akan bahaya Neo-kolonialisme dan Neo-imperialisme dari Negara-negara barat yang maju dan kaya.

Namun kemudian, setelah Orde Lama diruntuhkan dan PKI dibubarkan karena dipicu tragedi berdarah G 30 S, haluan ekonomi dan politik luar negeri  Indonesia berubah drastis. Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto dengan dukungan militer dan sokongan sarjana-sarjana yang sering dinamai 'Mafia Berkeley', mengganti haluan ekonomi menjadi lebih terbuka (liberalisasi), pro kapitalisme dan cenderung ke Barat. Ekonomi Indonesia dikatakan berada dalam supervisi dan pengarahan kapitalisme Barat. Jauh sebelum Konsensus Washington dijadikan referensi globalisasi ekonomi, Indonesia sudah lebih dulu ikut kereta ekonomi Washington dan belum pernah berani keluar dari resep-resepnya.[1]

Dengan kucuran dana segar dari pihak asing (IGGI) dan iklim investasi yang terbuka. Hasilnya, Indonesia melalui  program pembangunannya perlahan dan bertahap mulai dan terus membaik. Indonesia pun diprediksi bakal menjadi salah satu macan Asia di kemudian hari dan rakyat kebanyakan pun puas dengan kinerja Orde Baru ini. Tapi selanjutnya, kemakmuran ini terbukti semu. Setiap bayi yang lahir di Indonesia sudah terlilit hutang sebesar Rp. 7.000.000, 00. Hutang negara menumpuk dan negara nampaknya mulai harus digadaikan.

Setelah krisis yang melanda sebagian besar Negara Asia tahun 1998, pemerintahan Indonesia meneruskan kebijakan ekonomi terbuka yang pro Barat dan mengacu pada sistem kapitalisme internasional. Pinjaman dari IMF dengan berbagai macam prasyaratnya demi mengatasi krisis dipenuhi; privatisasi, liberalisasi pasar modal, penentuan harga yang murni berdasarkan kekuatan pasar, serta pengentasan kemiskinan. Tiga prasyarat utama sangat dipatuhi dan dipenuhi, tapi ternyata Indonesia tak kunjung lepas dari krisis ekonomi yang melilitnya. Angka kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi dan rakyat kebanyakan sangat merasakan kesulitan hidup (ekonomi). Apa yang sesungguhnya terjadi pada Indonesia?.


Joseph Stiglitz, salah satu pendekar globalisasi mengingatkan, -ketika berkunjung ke Indonesia Agustus 2007- bahwa liberalisasi pasar modal dan keuangan bukanlah solusi dan tidak menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, tetapi bahkan menciptakan ketidakstabilan.  India dan China yang pertumbuhan ekonominya tinggi terhindar dari krisis Asia 1997,  karena tanpa melakukan liberalisasi.[2] Menurut stiglitz, Indonesia selama ini telah menelan mentah-mentah mantra globalisasi yang difatwakan IMF, Bank Dunia dan WTO tanpa daya dan nalar kritis.[3] Malaysia adalah contoh nyata negara yang tidak 'latah' globalisasi, tidak begitu saja menerima resep-resep penanggulangan krisis dari institusi pilar demokrasi seperti IMF, Bank Dunia dan WTO. Dan hasilnya Malaysia mampu keluar dari krisisnya.

Dengan sikap yang sangat 'manut' terhadap Washington, pemerintahan pasca-Soeharto justeru lebih menggila lagi dengan privatisasi BUMN. Agenda yang dinilai banyak pihak di Indonesia justeru terlalu menguntungkan pihak asing, daripada ditujukan bagi kedaulatan dan kemakmuran rakyat banyak.

Makalah ini akan menjelaskan mengapa Indonesia yang 'super  kaya' masih saja miskin? Dengan tinjauan perspektif strukturalisme, makalah ini berargumen bahwa Indonesia berada dalam wilayah pinggiran (peripheri) Sistem Dunia dan sangat sulit untuk keluar dari wilayah itu karena mengalami ketergantungan akut terhadap negara-negara inti (core) pemilik modal dan uang yang menguasai serta  mengendalikan sistem.

Perspektif strukturalisme.
Strukturalisme adalah perspektif dalam ilmu Hubungan Internasional yang menunjukan warisan pemikiran Karl marx, tapi ide-idenya juga banyak yang tidak langsung dari Marx. Dan barangkali varian yang paling terkenal dalam strukturalisme adalah Teori Sistem Dunia (World System Theory) dan Teoti Ketergantungan (Dependency Theory).

Menurut perspektif ini, tatanan dunia dewasa ini berdasarkan pada sistem kapitalisme global.  Bentuk dasar dari tatanan ini adalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Karena kapitalisme berdiri diatas eksploitasi si miskin oleh si kaya. Dalam mengejar kepentingan (kelas) mereka, si kaya (perorangan, korporasi atau negara, sangat mungkin) dapat mempertahankan posisi mereka dengan terus menerus mengeksploitasi si miskin. Hal ini meenyebabkan, secara fundamental, ketidakadilan sistem yang berdasarkan struktur dan bersifat tidak setara.

Sejalan dengan Marx, maka kebanyakan kaum strukturalis melihat kelas-kelas sebagai aktor dominan dalam HI, selain pentingnya aktor negara. Strukturalis mengembangkan analisa tentang negara sebagai instrumen yang digunakan oleh kelas dominan untuk melaksanakan tekanan kelas mereka, atau sebagai alternatif entitas yang cukup  otonom, yang memainkan peran penting dalam memfasilitasi ekspansi kaum (kelas)  kapitalis dan mendukung tatanan yang tidak adil tesebut.

Sementara dunia dibagi menjadi kaya dan miskin, HI membutuhkan pendekatan akurat untuk memperhatikan bagaimana kelas-kelas mengejar dan mempertahankan kepentingan mereka serta bagaimana menggunakan negara  agar membantu. Secara khusus, strukturalisme memperhatikan bagaimana aktor-aktor institusional seperti IMF dan World Bank, membantu melegitimasi dan mempertahankan eksistensi struktur kapitalisme dunia.
Strrukturalisme mengklaim bahwa proses akumulasi kapital, ekstraksi nilai lebih (suplus value) dan eksploitasi dapat dilihat dan diperhitungkan secara objektif. Kita dapat memahami proses-proses kontradiksi, krisis dan perubahan dengan referensi pada hukum-hukum  ekonomi yang sama ini. Maka, strukturalisme dapat dipandang sebagai pendekatan yang 'ilmiah' atau 'positivis' dalam HI. Akan tetapi, meskipun memiliki banyak kelebihan, strukturalisme cenderung termarjinalkan dalam studi HI, khususnya di disiplin HI versi AS.[4]

Asumsi dasar dari strukturalisme adalah bahwa kondisi alamiah manusia tidaklah esensial dan tetap.Subjek manusia adalah sosial dan sejarah. Bagaimanapun juga, kondisi alamiah manusia dibentuk oleh keadaaan sosial, ekonomi dan politik. Seseorang adalah produk dari masyarakatnya.

Subjek-subyek dapat dikelompokkan ke dalam kolektivitas-kolektivitas yang dapat diidentifikasi, yang pada gilirannya dapat dikatakan memiliki kepentingan yang nyata. Ketika menyadari perubahan secara historis keadaan alamiah pada masyrakat, versi strukturalisme ini tidak mengklaim dirinya menjadi 'ilmiah' dan 'objektif', sejauh mereka mengklaim memiliki identifikasi fakta-fakta sebenarnya tentang dunia, dan hukum-hukum objektif yang menentukan fase-fase perjalanan sejarah.

Strukturalisme sebagai ilmu, dipisahkan secara jelas dari sistem kepercayaan atau ideologi, meskipun merupakan sikap moral yang dalam dari mereka yang menggunakannya sebagai teori ekspalanatori. Dan para strukturalis tidak membedakan secara khusus antara nasional (di dalam) dan internasional (di luar). Menurut perspektif ini, sistem negara ditentukan oleh sistem kapitalis internasional, atau keduanya berdiri bersama dan saling menguntungkan dalam penekanan oleh kelas dominan kepada kelas subordinat.[5]

Globalisasi, Institusi-institusi Penyangganya dan Ketidakadilan Sistem Dunia
Bank Dunia menyatakan memang terdapat banyak definisi tentang globalisasi, dari yang melihat globalisasi sebagai proses pemiskinan kaum melarat dunia dan pengayaan kaum kaya serta merusak lingkungan, sampai yang berpendirian bahwa globalisasi adalah cara terbaik untuk membangun perdamaian dan kemakmuran dunia.. yang pasti, menurut bank Dunia, inti globalisasi ekonomi adalah proses sharing kegiatan ekonomi dunia yang berjalan melanda semua masyarakat di berbagai negara dengan mengambil tiga bentuk kegiatan, yaitu perdagangan internasional, investasi asing langsung dan aliran pasar modal.[6]

Sementara itu, Menurut IMF, Globalisasi ekonomi adalah sebuah proses historis. Globalisasi merujuk pada integrasi ekonomi yang terus meningkat di antara bangsa-bangsa di muka bumi, terutama lewat arus perdagangan dan keuangan.[7] IMF yakin bahwa ekonomi pasar bebas menjamin efisiensi lewat kompetisi dan pembagian kerja (division of labour). Pembagian kerja dan spesialisasi komoditas ekonomi akan memungkinkan masyarakat untuk memusatkan perhatian dan pekerjaan pada apa yang paling baik buat dirinya. Sehingga masyarakat memiliki akses lebih baik pada aliran modal, teknologi mutakhir, impor yang lebih murah dan pasar ekspor yang lebih luas.

Tiga institusi pilar yang menopang globalissi sejak tahun 80-an adalah IMF, World Bank dan WTO. Adalah consensus Washington yang menjadi ideology bersama tiga lembaga tersebut. John Williamson yang pertama-tama mengamati dan merumuskan kesamaan pandangan lembaga-lembaga yang bermarkas di Washington tersebut, menjadi 10 langkah perbaikan ekonomi buat negara-negara yang dilanda krisis.[8] 10 rekomendasi ekonomi yang terkenal dalam Konsensus Washington tersebut adalah:
1.    Perdagangan bebas
2.    Liberalisasi peasar modal
3.    Nilai tukar mengambang
4.    Angka bunga ditentukan pasar
5.    Deregulasi pasar
6.    Transfer asset dari sector publik ke sector swasta
7.    Focus ketat dalam pengeluaran public pada berbagai target pembangunan social
8.    Anggaran berimbang
9.    Reformasi pajak
10. Perlindungan atas hak milik dan hak cipta.[9]

Mengapa globalisasi jika dilihat dari beberapa segi hakekatnya adalah imprealisme ekonomi?. Atau meminjam istilah bung Karno, neo-imprealisme. Seperti kita tahu, imprealisme atau kolonialisme tempo doeloe bercirikan tiga hal. Pertama, kesenjangan kemakmuran antara negara penjajah dan terjajah. Kedua, hubungan antara penjajah dan terjajah adalah hubungan yang bersifat eksploitatif dan menindas. Ketiga, negara terjajah, sebagai pihakyang lemah, kehilangan kedaulatan dalam arti luas.[10]

Bila dicermati kesenjangan antara negara kaya dan negara miskin, juga antara kelas kaya dan kelas miskin dalam sebuah negara cenderung semakin lebar menganga. Akhir decade 90-an, memasuki abad 21, 20%penduduk dunia yang kebetulan hidup di negara-negara maju menikmati 86% penghasilan dunia. Sedangkan 20% paling bawah hanya mendapat 1% penghasilan dunia. Sekitar 1,3 milyar atau 1/6 penduduk dunia berpenghasilan kurang dari satu dolar sehari. Kesenjangan yang luar bisa semakin menganga, bukannya membaik.[11]

Lebih dari 80 negara memiliki pendapatan per kapita yang semakin kecil pada akhir 1990-an dibandingkan pada akhir 1980-an. Di tahun 1960, sebanyak 20% penduduk paling atas berpenghasilan 30 kali lebih besar daripada 20% penduduk paling bawah. Hal ini semakin membesar menjadi 32 kali pada 1970, 45 kali pada 1980 dan 60 kali pada tahun 1990. Pada penghujung akhir abad 20, penduduk dunia yang merupakan 20% di peringkat atas memperoleh 75 kali lebih besar dibandingkan penghasilan 20% yang ada di peringkat bawah. Kesenjangan pun semakin telak terlihat di bidang cyberspace. Seperlima penduduk teratas dari segi penghasilan mencakup 93% pengguna internet, sementara seperlima di bawah hanya meliputi 0,2% pengguna internet.[12]

Fakta dan angka berikut ini dapat juga menggambarkan bagaimana kesenjangan ekonomi antar negara sudah kelewatan dalam era globalisasi ini. Perbaikan pendidikan dasar untuk semua di negara-negara berkembang memerlukan dana sebesar $ 6 Milyar setahun, jumlah yang sangat terbatas dibandingkan dengan $ 8 Milyar yang dihabiskan untuk belanja kosmetik di AS saja. Instalasi air dan sanitasi di negara-negara berkembang memerlukan $ 9 Milyar, sedangkan konsumsi es krim mencapai $ 11 Milyar di Eropa. Pemeliharaan kesehatan dasar dan nutrisi memerlukan $ 13 Milyar, sementara $ 17  Milyar dihabiskan untuk membeli makanan hewan piaraan (kucing dan anjing) di Eropa dan AS.[13] Dan rata-rata seekor sapi di eropa mendapatkan subsidi $ 2 per hari, tetapi lebih dari setengah penduduk dunia hidup di bawah $ 2 sehari.[14]

Masalahnya, bilamana hewan di negara-negara maju memperoleh perlakuan dan uang belanja yang lebih daripada sebagian besar umat manusia, pasti ada yang salah dalam distribusi kekayaan di dunia ini. Demikian juga apabila kemiskinan dunia yang memilukan sudah begitu meluas, sementara $ 35 Milyar dibelanjakan untuk bisnis hiburan di Jepang; atau $ 105 Milyar untuk konsumsi alcohol di Eropa; maka pasti ada yang salah, bahkan sangat salah, dengan berbagai lembaga internasional serta pola-pola kekuasaanya.[15]

Hubungan ekonomi yang eksploitatif dala globalisasi yang terutama digerakkan oleh berbagai korporasi pada dasarnya mengarah pada konsep "one-size-fits-all golden strait jacket" ala Thomas L. Friedman. Menurut Friedman, sebagai pembela Globalisasi yang terilhami Neoliberalisme dan neokonservatisme, jaket pengaman emas buat ekonomi yang cocok buat segala ukuran itu mencakup; upah buruh direndahkan untuk menekan laju inflasi,privatisasi BUMN dan memasukkan BUMN ke dalam pasar sekuritas global, menghapus tariff dan kuota agar barang bisa bergerak bebas menerobos batas-batas negara, memprioritaskan produksi barang-barang ekspor dan membuka seluruh bidang ekonomi bagi kepemilikan asing.[16] (tidak peduli negara besar atau kecil, maju atau terbelakang, industry atau agraris).

Konsep perdagangan dan pasar bebas yang digambarkan Friedman, tentu sja menguntungkan pihak kuat dan merugikan yang lemah. Sangat tidak fair dan tidak mempunyai prospek, karena system ini tidak alami dan pasti mengalami kegagalan. Ditambah lagi, pihak kuat, sekalipun sudah pasti menang dalam free trade dan free market itu ternyata masih berlaku curang. Untuk melindungi para petani mereka dari kompetisi petani luar, negara-negara maju seperti AS, Inggris, Perancis, Jepang dan Kanada memberikan subsidi Milyaran dolar sehingga pasar produk pertanian mereka tidak mungkin tertembus produk pertanian negara-negara berkembang.

Negara-negara berkembang yang kaya akan Sumber Daya Alam justeru gagal membangun kemakmuran, karena negara-negara tersebut sangat tergantung pada SDA-nya. Selain itu, kenyataan aneh ini juga disebabkan resep ekonomi globalisasi yang tidak kalah aneh. Menurut Stiglitz, yang diperlukan oleh negara berekembang bukan bantuan atau hutang asing, tapi "pertolongan yang lebih besar agar mereka memperoleh harga atau nilai penuh bagi SDA mereka dan membelanjakan uang yang mereka peroleh dengan cara yang benar. (more help in getting full value for their resources and in ensuring that they spend well the money)[17]

Henry Veltmeyer menulis artikel panjang yang membuktikan dengan tajam bahwa globalisasi yang disponsori terutama oleh AS pada dasarnya adalah pengejawantahan imprealisme ekonomi.[18] Sejak tahun 1948, Presiden Truman meluncurkan program ODA (Overseas Development Assistance). Dengan tujuan agar negara-negara yang baru lepas dari penjajahan tidak masuk ke jaringan komunisme. AS berusaha agar negara-negar yang baru merdeka dimasukkan ke dalam kepentingan geopolitiknya.

Pada dekade 60-an dan 70-an AS mengkampanyekan perlunya nation building bagi negara-negar berkembang lewat reformasi sosial, bahkan revolusi sosial. Berbagai pemerintahan dan LSM diberi bantuan keuangan agar tidak tergiur pada magnit super power lain yang merupakan saingan, Uni Soviet. Sampai-sampai dikatakan bahwa banyak LSM yang secara tidak sadar telah berperan sebagai agen yang melayani kebutuhan imprealisme AS. Mereka mempromosikan nilai-nilai dan prilaku yang fungsioanal bagi pemenuhan ekonomi dan politik imprealisme internasional AS yang semakin meningkat.[19]

Secara singkat dapat dikatakan pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an, globalisasi yang didasarkan pada model ekonomi baru atau katakanlah neoliberalisme berjalan sangat lancar bagi kepentingan kepentingan negara-negara besar. Salah satu doktrin globalisasi, seperti yang telah diungkapkan diatas, mendorong negara-negara di muka bumi untuk mengintegrasikan ekonomi mereka ke dalam ekonomi global tunggal. Doktrin itu meliputi: liberalisasi perdagangan dan arus keuangan; deregulasi produksi, modal dan pasar tenaga kerja; dan merampingkan (downsizing) peran negara, terutama yang berkaitan dengan program pembangunan sosial dan ekonomi.

Tujuan pokok reformasi struktural ini adalah menggusur peran negara dan menggantinya dengan dengan lembaga-lembaga swasta dan melepaskan kekuatan-kekuatan ekonomi dari belenggu regulasi agar ekonomi pasar bebas bergerak dengan kendali sesedikit mungkin. George W. Bush, dalam Laporan Keamana Nasional 2002, menyampaikan bahwa sistem ekonomi yang diingin AS, dimana "kekuatan-kekuatan kebebasan ekonomi dan politik dapat Berjaya, menaklukkan musuh-musuh kebebasan dan berbagai rintangan seperti regulasi pemerintah, pengawasan modal serta pembatasan perpindahan barang dan modal." (the forces of economic and political freedom could flourish, vanquishing the enemies of freedom and obstacles such as government regulation, capital controls and restricton on the movement of goods and capital) Dan hasilnya, Pada 2004, UNCTAD mencatat terjadi aliran modal dari negara berkembang (periferi) ke negara-negara metropolitan sebesar $ 239 milyar.[20]

Martin Khor, seorang jurnalis-ekonom dari Malaysia mengkritik WTO. Menurut Khor, WTO tidak mengelola ekonomi global secara adil, berbagai keputusan dan operasinya sarat dengan bias sistematik yang menguntukkan negara-negara kaya dan korporasi multinasional serta merugikan negara-negara miskin yang tidak memiliki kekuatan dan daya tawar. Diantara bias dan ketidaknetralan tersebut adalah:[21]
  • Negara-negara kaya dapat mempertahankan pajak impor yang tinggi beserta kuota untuk produk-produk tertentu yang pada gilirannya dapat memblokir impor dari negara-negara berkembang, semisal pertanian;
  • Kenaikan rintangan non-tarif seperti peraturan anti-dumping diperbolehkan untuk menghadapi negara-negara berkembang;
  • Dipertahankannya proteksi tinggi bagi sector pertanian di negara maju, sementara negara berkembang ditekan untuk membuka pasar mereka.
  • Banyak negara berkembang yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengikuti berbagai negosiasi dan berpartisipasi secar aktif di Putaran Uruguay; dan
  • Adanya perjanjian TRIPs yang membatasi negara-negara berkembang untuk memanfaatkan sejumlah teknologi yang berasal dari luar negeri di dalam system local mereka (termasuk obat-obatan dan pertanian)
Alejandro Schtulmann mengemukakan saripati buku Stiglitz secara jitu, seperti dipaparkanberikut ini.[22] Semua langkah dan kebijakan ekonomi global AS pada tahun 1990-an mempengaruhi nasib jutaan penduduk dunia lainnya. Apalagi pada dasawarsa itu, kapitalisme dunia memungkinkan terjadinya konsumsi dan super pertumbuhan yang berdampak buruk bagi negara-negara berkembang. Pada masa itu terjadi proses deregulasi ekonomi yang berlebihan, praktik akuntansi yang buruk dan culas yang melahirkan –yang dinamakan oleh Greenspan- irrational exuberance atau optimisme kelewatan yang memunculkan bubble economy (ekonomi gelembung atau ekonomi buih).

Mengapa model globalisasi yang sedang berjalan dewasa ini tidak memberikan manfaat bagi kebanyakan masyarakat dunia? Jawaban Stiglitz sangat sederhana, yakni ada lima kelemahan kunci;[23]
  • Aturan main yang ada tidak fair dan dirancang supaya menguntungkan negara-negara kaya dan korporasi;
  • Globalisasi mengunggulkan nilai-nilai material diatas nilai lainnya, sehingga tidak ada perhatian terhadap lingkungan hidup.
  • Aturan perdagangan dunia cenderung menenggelamkan kedaulatan negara-negara miskin;
  • Pertumbuhan ekonomi yang berdasarkan hukum-hukum pasar hanya menguntungkan sebagian orang dan memperlebar kesenjangan; dan
  • Model atau resep AS yang dipaksakan atas negara-negar miskin cenderung merusak dan menimbulkan kebencian serta perlawanan.
Impian globalisasi yang menjanjikan masa depan dunia yang lebih indah kini semakin tak terbukti. Sekitar 17 tahun yang lalu, para pemikir globalisasi seperti Kenichi Ohmae dan Robert Reich menulis tentang borderless World, dunia tanpa batas. Kata mereka, integrasi ekonomi tidak mungkin terelakkan. Ekonomi global adalah sebuah keniscayaan. Mereka yang menentang globalisasi diejek Luddites, kaum penentang revolusi Industri yang menghancurkan mesin-mesin. Akan tetapi sekarang kita menyaksikan globalisasi itu makin layu, karena bau imprealisme ekonomi ternyata cukup menyengat dalam globalisasi.[24]

Tinjauan Kritis Strukturalis terhadap Kebijakan Ekonomi Indonesia
 Pada masa pemerintahan Habibie, diterbitkan UU No.10/1998 tentang perbankan sebagai ganti UU No.7/1992. Undang-undang ini jauh lebih eksplisit dalam mendorong salah satu agenda Konsensus Washington, yaitu liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan. Dengan aturan tersebut, pihak asing bisa memiliki hingga 99% saham bank di Indonesia. Indonesia bahkan jauh lebih liberal dari negara-negara barat yang liberal maju.

Sebagai dampaknya, 6 dari 10 bank terbesar di Indonesia sudah dimiliki pihak asing dengan kepemilikan mayoritas. Hebatnya lagi, pihak asing dapat membeli bank-bank tersebut dengan harga 8-12% dari total biaya rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan yang dikeluarkan oleh negara. Negara pun masih harus membayar bunga obligasi sekitar Rp. 50-60 trilyun setiap tahun hingga tahun 2030. Selanjutnya, semakin banyak bank-bank kecil yang diakuisisi pihak asing. Serbuan bankir asing pun sudah pada tingkat memprihatinkan, tanpa ada regulasi yang mencegahnya.

Di bawah pemerintahan Megawati, terbitlah UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. UU ini adalah yang pertama di Indonesia, yang memberikan landasan hukum eksplisit terhadap pelaksanaan privatisasi. Privatisasi merupakan salah satu pilar agenda neoliberal dalam globalisasi ekonomi. Privatisasi menjadi kultus globalisasi yang sangat merusak kekuatan ekonomi negara, dan lebih menguntungkan investor dan pelaku keuangan asing. Kasus listing Telkom di NYSE, Semen Gresik dan Indosat adalah contohnya. Belum lagi, di dalam UU ini –menurut Amien Rais- terdapat banyak kelemahan yang dengan gampang membuka peluang korupsi dan lebih dekat pada penjualan negara.

Kemudian, di masa SBY, diterbitkan UU No. 25/2007 Tentang Penanaman Modal. Dan UU ini menambah kelengkapan agenda Konsensus Washington di Indonesia. Dari sisi ekonomi, harus diakui bahwa sejak krisis ekonomi 1998, iklim usaha di Indonesia sangat tidak kompetitif. Karena itu, sangat diperlukan UU yang dapt memberikan kemudahan dan fasilitas kepada penanam modal, khususnya investor domestik.

Seharusnya, kemudahan dan fasilitas investasi itu diarahkan untuk membangun kapasitas ekonomi dan teknologi bangsa, dengan tujuan akhir menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sayangnya, UU penanaman modal ini juga diisi oleh pasal-pasal pengamanan liberalisasi dan penguasaan asing di Indonesia.

Pasal-pasal pengamanan kepentingan asing ini terutama Nampak dalam Bab V "Perlakuan terhadap Penanaman Modal". Bahkan bab ini jauh lebih liberal dari negara-negara maju, karena tidak disertai escape clause sebagai langkah pengamanan kepentingan dalam negeri.

UU ini menghapus begitu saja pembatasan terhadap penanaman modal asing. Tanpa ada kajian komprehensif tentang dampaknya bagi kepentingan nasional di bidang politik, strategis, pertahanan keamanan, ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pembatasan kepemilikan asing pun tidak diatur dalam UU ini, padahal negara-negara maju pun mempunyai berbagai pembatasan. Dan tidak kalah mengerikan adalah diperbolehkannya kepemilikan asing di bidang pendidikan.

Indonesia beserta negara-negara dunia berekembang lainnya, sebenarnya adalah negara-negara yang kaya akan sumber daya alam. Tapi sayang, kekayaan SDA itu nampaknya justeru menjadi kutukan (resource curse atau curse of oil) ketimbang menjadi berkah.  SDA yang melimpah seringkali malah membuat sebuah bangsa menjadi miskin, tidak produktif, cenderung malas dan memerosotkan industri manufaktur, industri pertanian yang pada gilirannya akan menurunkan kemampuan ekspornya. Bukan hanya itu, korupsi yang dilakukan pemerintah juga semakin menggila karena kekayaan melimpah tersimpan di perut bumi.[25]

Kutukan SDA itu sesungguhnya bukanlah takdir, melainkan sebuah pilihan. Jelas sekali, negara-negara barat berkepentingan sekali dan sangat membutuhkan kekayaan alam Indonesia. Mereka sama sekali tidak punya kepentingan yang berkaitan dengan kemakmuran negara tuan rumah. Sehingga mudah dimaklumi, bila berbagai korporasi asing hanya memikirkan keuntungana tanpa melihat proses pemiskinana yang terjadi di negara ini. Dan pada akhirnya, memang terserah pada Indonesia sendiri untuk memperjuangkan nasibnya dalam proses globalisasi yang ganas ini.[26)

Strategi perusahaan-perusahaan minyak, gas dan tambang adalah berusaha meyakinkan pemerintah negara-negara berkembang agar mendapat bagian sesedikit mungkin, sambil membantu pemerintahan tersbut menemukan alas an dungu; mengapa mendapat bagian yang sedikit justeru lebih baik. Lewat perolehan pajak dan royalty tertentu pemerintah sudah mendapat keuntungan. Tidakperlu menyiapkan modal, teknologi dan tenaga ahli untuk menggarap pertambangan. Serahkan saja semuanya, termasuk operatorshipnya ke perusahaan asing, pemerintah negara berkembang tahu beres.[27]

Pemerintahan Indonesia yang selama ini berkuasa, bersikap demikian longgar dalam melindungi kekayaan alam dari "penjarahan legal" berbagai korporasi asing. UU No. 77 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, sejak semula sudah mengandung kelemahan. Pertama, UU tersebut tidak memuat satu ketentuan pun yang menyebutkan bahwa Kontrak Karya sewaktu-waktu dapat diubah jika bertentangan dengan UU itu sendiri. Dengan kata lain, dapat ditafsirkan sekali Kontrak Karya ditanda tangani, kontrak itu berjalan terus sekalipun bertentangan dengan UU dan juga bertentangan dengan kepentingan nasional. Kedua, tidak ada larangan eksplisit agar kegiatan korporasi asing tidak merambah pada kegiatan penyelidikan umum dan eksplorasi. Karena kegiatan yang seharusnya boleh dilakukan korporasi asing hanya eksploitasi saja. Tapi, kata yang digunakan dalam UU tersebut adalah 'seyogyanya', sehingga pelanggaran tidak dapat dielakkan terjadi.

Dengan sikap pemerintah yang seperti itu, hakekatnya Indonesia tidak punya masa depan. Kekayaan alam yang seharusnya dinikmati oleh bangsa secara keseluruhan, malah dihibahkan pada perusahaan-perusahaan asing. Inilah yang terjadi dari masa ke masa, bahkan boleh dikatakan keadaannya semakin parah.[28]

Masyrakat awam tidak banyak yang tahu, produksi minyak nasional yang sebesar sekitar 1 juta barrel/hari sekarang ini sudah didominasi korporasi asing. Pertamina hanya memproduksi -kurang lebih- 109 barrel, sedikit diatas Medco yang memproduksi sekitar 75 ribu barrel. Produksi besar adalah oleh Chevron, (dulu Caltex) sekitar 450 ribu barrel per hari.[29] Hendri saparini menilai bahwa UU No 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi justeru memunculkan pengelolaan migas yang amburadul. Saparini mengatakan bahwa UU Migas pada era Megawati, telah diijonkan pada pihak asing untuk ditukarkan dengan hutang. Mulusnya UU yang sarat kepentingan asing itu menunjukkan bahwa 'kepentingan korporat dunia dan kerakusan negara barat telah diakomodasi dengan sangat baik lewat para komprador mafia Berkeley yang menguasai kebijakan ekonomi Indonesia sejak 40 tahun lalu.

Banyak korporasi asing yang mengerjakan pertambangan di Indonesia , begitu bebasnya dan begitu serakahnya dalam menjarah SDA. Mereka bukan lagi seperti negara di dalam negara (a state within a state), tapi sudah seperti negara di atas negara (a state above the state). Kita hanya menjadi sekedar penonton yang membisu, karena tidak berani berteriak. Suka atau tidak suka.[30]

Kepercayaan yang berlebihan pada IMF, membuat Indonesia tak terelakkan dari proses pemiskinan. Keadaan yang menyusahkan bagi Indonesia justeru muncul akibat liberalisasi modal dan keuangan. Indonesia menjadi korban serbuan uang panas (hot money) yang masuk, yang pada gilirannya mengangkat kejayaan real-estate untuk sementara waktu dan menghasilkan boom atau lebih tepat bubble (buih). Namun, begitu pasar investasi berubah karena ada perubahan social dan politik tertentu, uang yang masuk segera ditarik lagi keluar dan mengakibatkan kehancuran ekonomi (bust). Ekonomi boom and bust.

Secara tersamar, Stiglitz pun membenarkan adanya mentalitas kolonial di pihak IMF. Katanya, terlalu sering pendekatan IMF ke negara berkembang berbau penguasa colonial. (All too often the Fund's approach to developing countries has had the feel of a colonial ruler.). IMF menunjukkan semacam paternalism terhadap degara berkembang dengan gaya khas; "kami pihak yang sudah mapan paling tahu bagaimana mengelola pasar modal. Kerjakan saja apa yang kami perintahkan." Arogansi yang menunjukkan bahwa IMF mengalami deficit demokrasi.

Sementara itu, kesukaan IMF untuk memaksa negara klien agar melakukan privatisasi secepat mungkin lebih banyak memperpuruk ekonomi negara bersangkutan. Menurut stiglitz, privatisasi terlalu dini tidak memperhitungkan sama sekali budaya korporatokrasi yang menyertainya, menganggap remeh kesulitan dalam membangun lembaga yang diperlukan untuk menopangnya dan melupakan bahwa banyak negara yang tidak atau belum memiliki pemerintahan yang dapat mengatur kompetisi secara adil. Indonesia adalah bukti nyata, resep-resep ekonomi IMF terbukti gagal.

Sebagai kesimpulan, seperti yang telah dijelaskan Amien Rais dalam memoarnya, Indonesia saat ini berada dibawah cengkeraman korporatokrasi. Keadaan yang tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan Belanda, Indonesia tidak mampu berbuat apa-apa di bawah cengkeraman VOC. Korporatokrasi adalah pemerintahan (atau serupa pemerintahan yang menguasai kedaulatan berbagai dimensi) yang dikendalikan oleh korporasi-korporasi besar internasional.

Sangat sulit bagi Indonesia untuk keluar dari keadaan ini karena, sistem ini selalu berusaha mempertahankan kekuasaannya dan telah begitu kuat mencengkeramkan kuku-kuku kekuasaannya sampai ke akar-akar. Korporatokrasi ini mendapatkan dukungan penuh dari pemerintahan negara asalnya, diperkuat oleh perbankan dan lembaga keuangan internasional (seperti IMF, Bank Dunia dan WTO), ditambah lagi mereka berhasil mendapatkan atau memiliki sokongan militer, media mass, para intelektual yang mudah terjual dan elite nasional negara tuan rumah yang bermental inlader.[31]
           

Catatan Akhir:
[1]  Rais, Mohammad Amien, Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia! (2008), Yogyakarta : penerbit PPSK ; hlm. 185.
[2] Kompas, 13 Agustus 2007
[3]Op. Cit. Rais. hlm.47
[4] Steans, Jill dan Lloyd Pettiford, International relations: Perspectives and Themes, (2001) United Kingdom : Pearson Education; hlm. 97
[5] Ibid; hlm. 83
[6] www.worldbank.org/economic policy/globalization/ag 01.htm, The World Bank group, Globalization
[7] www.imf.org/external/np/exr/ib/2000/041200.htm, Globalization Threat or Opportunity?
[8] www.en.wikipedia.org/wiki/Washington_Consensus
[9] ibid
[10] Op. Cit. Rais. hlm. 21.
[11] ibid
[12] www.Encarta.msn.com/text_1741588347_0/Globalization.html
[13] www.faculty.Virginia.edu/mesp/Fatton_Globalization_Terror.pdf
[14] Op.Ciy. Rais. hlm, 41
[15] www.faculty.Virginia.edu/mesp/Fatton_Globalization_Terror.pd f
[16] Friedman, Thomas L. 2006. The World is Flat, London: Penguin Books.
[17] Op.Cit. Rais. hlm, 41
[18] www.laberinto.uma.es, Development and Globalization as Imprealism, January 30, 2005
[19] ibid
[20] ibid
[21] www.en.wikipedia.org/wiki/critism of WTO
[22] Demint dalam www.iadb.org/ethics
[23] Paul Kingsnorth, www.arlindo-correia.com/041006.html
[24] www.fpip.org/fpiftxt/3826, Walden Bello, Globalization ini Retreat
[25] Op.Cit. Rais. hlm. 42.
[26] Op.cit. Rais, hlm. 43
[27] Op.Cit. Rais. hlm. 45
[28] iOp.Cit. Rais. hlm, 45
[29] Hendri Saparini, "90% Migas Kita Dikuasai Asing" www.moslemgen.multiply.com/journal/item/443
[30] Op.Cit.  Rais, Mohammad Amien, Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia! (2008), Yogyakarta : penerbit PPSK ; hal, 46
[31] Op.Cit. Rais

1 komentar:

  1. Nama saya Cynthia Johnson. hipotek, pinjaman rumah, kredit mobil, pinjaman Hotel, tawaran komersial Umum Mr John Carlson, salah satu harus memperbarui semua situasi keuangan di dunia / perusahaan untuk membantu mereka yang terdaftar pinjaman uang pinjaman pribadi, pinjaman, kredit konstruksi, kredit bunga rendah tingkat modal dll 2%, pinjaman usaha dan buruk pinjaman kredit usaha, start up. Kami membiayai proyek di tangan dan perusahaan Anda / mitra dan saya juga ingin menawarkan pinjaman pribadi untuk klien mereka. hubungi kami melalui e-mail untuk informasi lebih lanjut: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com

    BalasHapus